Tempo dulu, daerah Lampung terkenal dengan kayu-kayunya yang berkualitas. Orang Belanda, F.G. Steck mencatat,
daerah ini banyak tumbuh pohon-pohon kayu yang bagus dan mutunya
tinggi. Sungai di daerah ini memudahkan pengangkutan kayu-kayu
tersebut. F.G.
Steck, salah satu di antara beberapa orang asing yang pernah mencatat
situasi dan kondisi di Lampung jauh sebelum Indonesia merdeka.
F.G. Steck (Kapten Infanteri) dalam
laporan yang dibuatnya untuk kepentingan Infranteri KNIL dekade pertama
abad ke 19 Masehi menggambarkan situasi masyarakat hingga lingkungan
alam di Lampung. Bahkan, ia juga menggambarkan keadaan di Tulang Bawang
yang dikenalnya sebagai salah satu pelabuhan dan pusat perdagangan di
Lampung.
F.G. Steck dalam “Topographische
en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië “ deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G. Kolff, 1862 menyebutkan kalau saat itu orang Lampung menanam padi, lada dan kapas.
Para petani di
daerah pantai menanam padi di sawah. Memang sawah hanya ada di daerah
pantai. Sungai-sungai yang dalam dengan tebing-tebing terjal di
kiri-kanan alirannya di daerah perdalaman Lampung sulit diandalkan untuk
pengairan sawah. Orang Lampung menanam padi di ladang-ladang yang
kering.
Sebelum dapat
berladang, petani Lampung harus membuka lahan lebih dahulu. Kayu-kayu
dari semak dan perdu dipotong; pohon-pohon besar ditebang. Lalu,
semuanya dibiarkan mengering, kemudian dibakar. Biasanya, tahun
pertama para petani menanam jagung, kacang-kacangan dan palawija
lainnya. Padi baru ditanam tahun kedua, diselingi dengan jagung dan
kacang-kacangan.
Di daerah yang
lebih tinggi, kapas menjadi tanaman selingan. Bila tanah di lahan itu
subur, tahun ketiga padi ditanam lagi dan tahun keempat baru kapas. Setelah
kesuburan lahan berkurang, sang petani akan pindah ke lahan baru.
Inilah yang membuat orang Lampung hidup berpindah-pindah. Terkadang,
ladang di daerah yang tidak subur —seperti di tengah-tengah daerah Sapoedi— harus dibiarkan menjadi hutan kembali sebelum dapat digarap lagi. Hal itu memerlukan waktu sampai 30 atau 40 tahun.
Sistem
pertanian dengan ladang berpindah ini barangkali aneh sekali di mata
orang Belanda yang hidup di negeri kecil. Di Belanda, para petani
mengolah lahan pertaniannya dengan intensif. Mereka terpaksa
mengembangkan teknik dan strategi pengolahan tanah agar lahannya selalu
panen baik. Kalaupun mau, bagi petani Belanda, tidak terbuka kemungkinan
untuk menerapkan sistem peladangan berpindah.
Padi yang
ditanam di ladang-ladang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lada,
yang dulu merupakan sumber kekayaan ketika Kesultanan Banten berkuasa di
daerah ini, sudah tidak banyak lagi. Beberapa tahun sebelum Steck
membuat tulisannya, banyak orang mulai kembali menanam lada.
Di samping itu, di Lampung semakin banyak pula orang menanam kopi. Hal ini bahkan dilakukan spontan oleh penduduk Lampung tanpa dorongan dari pemerintah Hindia Belanda. Pohon-pohon kopi ditanam sebagai pagar yang membatasi kebun-kebun lada.
Di berbagai tempat, banyak orang memelihara ulat sutra. Akan tetapi, ulat-ulat tersebutrupanya
hanya mampu menghasilkan kepompong kecil. Serat sutra dari
kepompong-kepompong itu bukanlah dari kualitas yang terbaik. Namun
walaupun tidak menjadi komoditas ekspor, sutra dari Lampung diolah,
dicat dan ditenun menjadi sarung dan selendang.
Selain kerbau, yang
memang banyak jumlahnya di Lampung, tidak banyak ternak dipelihara.
Ternak lainnya, seperti kambing dan domba didatangkan dari Pulau
Jawa. Tidak ada sapi di Lampung. Konon, sapi di Lampung tidak mau
berkembang biak. Kuda pun tidak banyak. Kuda yang ada dimiliki para
pegawai pemerintah
Hindia Belanda dan perwira-perwira militernya. Kuda-kuda didatangkan
dari luar Lampung dan setelah tuannya pulang ke negeri Belanda atau
pindah kembali ke Pulau Jawa, binatang-binatang itu ditinggalkan di
Lampung.
Perdagangan dan
pelayaran makin meningkat. Komoditas yang banyak diperdagangkan keluar
Lampung adalah lada dan hasil hutan, terutama karet, damar, rotan, lilin
lebah, gading, kapas dan kopi. Komoditas yang didatangkan ke Lampung, antara lain beras, garam, barang dan peralatan dari besi, gerabah, porselen serta tekstil.
Walaupun ada kemajuan dalam bidang pelayaran, bagi orang Lampung sendiri tidak berarti banyak. Karena
kegiatan itu hampir sepenuhnya dilakukan orang-orang dari luar Lampung.
Tidak mengherankan karena orang Lampung bukanlah bangsa pelaut.
Pasar dan
pusat-pusat perdagangan utama terdapat di Telok Betong dan Paloeboe,
yang lebih dikenal dengan nama Sekeppel di Teluk Lampung; Bornei, Napal,
dan Sepoeti di Teluk Samaka; Assahan di Sekampong; Eanto Djaija di
Pagadoengan; Seringkebow di Sepoetie; dan Mengala di Toelang Bawang.
Di Seringkebow
seorang demang diangkat, khusus untuk memperhatikan kepentingan
pemerintah Hindia Belanda dan pedagang-pedagang asing. Di Asahan, yang
dulunya merupakan pusat perdagangan penting, terdapat seorang syahbandar
yang bertugas mengawasi perdagangan (dan pelayaran) di daerah
itu. Dahulu kala, syahbandar diangkat sultan Banten.Waktu itu, seorang syahbandar sangat berkuasa dan berpengaruh di daerahnya. Kini gelar dan jabatan tersebut tidak lagi bermakna banyak.
Di Sungai
Oempoe di dekat Boemi Ratoe ada emas. Logam mulia itu ditambang oleh
penduduk setempat. Tidak banyak jumlahnya dan kualitasnya pun tidak
istimewa. Emas itu adalah emas muda. Kekayaan Lampung bukan berupa emas dan berlian yang terkubur di relung bumi. Kekayaannya, belantara yang menghijau di permukaan buminya. Lampung memiliki banyak kayu yang bagus dan bermutu tinggi. Paling terkenal
kayu dari daerah Toelang Bawang dan Sepoetie. Sungai-sungai besar yang
mengalir di kedua daerah itu memudahkan pengangkutan kayu-kayu itu. Di
daerah Asahan di sekitar Sekampong, banyak tumbuh pohon jati. Sayangnya, pohon-pohon berkayu mahal itu agak terlantar.
Jalan-jalan
setapak yang ada didalam belantara kerap bercabang ke kiri dan kanan.
Bila ditelusuri, jalan-jalan itu biasanya berakhir di sebuah pohon karet
atau pohon medang atau berujung di rawa-rawa yang terbentang luas atau
menghilang ke dalam sebuah sungai.
Jalan-jalan
itu, yang lebih kecil lagi dari jalan setapak adalah jalan yang dibuat
para peramu hasil hutan. Orang yang hendak mencari karet, rotan, lilin
lebah dan madu memang terpaksamblusuk sampai ke relung hutan. Ada
kalanya, orang membuka jalan di hutan untuk memudahkan membawa
batang-batang kayu dan rotan ke sungai. Transportasi melalui air jauh
lebih mudah dilakukan.
Dalam dunia binatang, gajah dan badak barangkali dapat dianggap sebagai pegawai-pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Binatang-binatang ini biasanya memilih untuk selalu melintas
hutan di jalan yang sama. Ukuran tubuhnya yang besar dengan sendirinya
menumbangkan pohon dan perdu di pinggir-pinggir jalan yang mereka lalui.
Manusia yang menelusuri jalan itu akan mudah mengenali jejak-jejak
kawanan gajah atau badak yang membukanya. Akan tetapi, yang tidak
terbiasa berjalan di hutan masih akan kebingungan mencari jalan tanpa
bantuan seorang pemandu. Tanpa bantuan pemandu, Infanteri Belanda takkan
mungkin dapat menemukan jalan. Peneliti kontemporer pun akan tersesat
tanpa pemandu jalan.
Pada perempat akhir abad ke 19 Masehi, Lampung terbagi ke dalam lima distrik, yaitu
Telok Betong, Sekampong, Sepoetie, Toelang Bawang dan Samangka. Kelima
distrik ini mempunyai batas-batas yang jelas kecuali Telok Betong. Telok Betong, dipimpin
seorang regent yang tinggal di Telok Betong. Sungai-sungai menjadi
batas alam Telok Betong dengan daerah-daerah Samangka dan Sekampong.
Pulau Lagundi,
Seboekoe, Sebessie, dan Krakatou di Selat Sunda serta pulau-pulau yang
terdapat di Teluk Lampung termasuk juga di dalam Distrik Telok Betong.
Sekampong
berbatasan dengan Samangka, Telok Betong dan Sepoetie. Daerah ini pun
dipimpin regent Telok Betong. Distrik Sepoetie yang dipimpin seorang
pangeran —yang tinggal di Dusun Tarabangie— berbatasan dengan Toelang Bawang, Samangka, Sekampong dan Laut Jawa.
Distrik Toelang
Bawang berbatasan dengan Residensi Palembang di sebelah utara, Distrik
Sepotie di sebelah selatan dan Laut Jawa di sebelah timur. Distrik ini
dipimpin seorang demang yang tinggal di Dusun Mengala. Di bawahnya terdapat seorang sub-demang yang memimpin Boemi Agong. Sub-demang itu bertempat tinggal di Gebang.
Distrik yang
terakhir, Distrik Samangka, berbatasan dengan Residensi Bengkulu di
sebelah utara dan baratnya. Di sebelah selatan, Teluk Samangka menjadi
batasnya. Pulau-pulau yang bertebaran di Teluk Samangka termasuk ke
dalam wilayahnya. Di sebelah timur, distrik itu berbatasan dengan Telok
Betong, Sekampong dan Sepoetie. Daerah ini dipimpin seorang depati yang
bertempat tinggal di Bornei.
Menurut Speck,
sebelum kedatangan Belanda, para tetua menjadi pemimpin. Setelah itu,
penduduk dusun atau kampung memilih seseorang sebagai pemimpin —yang
kemudian diangkat oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang. Dalam
menjalankan tugasnya, pemimpin yang dipilih itu didampingi oleh tetua di
dusun/kampung masing-masing. Masalah-masalah yang tak dapat
diselesaikannya diajukan lagi kepada kepala distrik di tempatnya.
Di Telok Betong dan Samangka, masih
ada satuan wilayah marga yang terdiri dari beberapa kampung. Setiap
kampung dipimpin seorang kepala kampung yang berkedudukan di bawah
kepala marga. Para kepala marga berada di bawah pimpinan regent Telok
Betong atau depati Samangka.
Di Lampung,
regent Telok Betong dianggap sebagai pemimpin pribumi tertinggi. Bersama
kepala-kepala Distrik lainnya, regent diangkat secara resmi oleh
pejabat Hindia-Belanda yang berwenang dan berhak menerima gaji dari
Hindia-Belanda. Seorang demang khusus ditempatkan di Dusun Seringkebow,
Distrik Sepoetie, untuk menangani kasus-kasus penyelundupan.
Pada umumnya,
pemimpin-pemimpin di Lampung tidak memiliki kekuasaan besar atas warga
yang dipimpinnya. Hukuman yang dijatuhkan atas pelanggaran tidaklah
terlalu berat (di mata Belanda) dan dapat digantikan dengan membayar
denda. Bahkan, hukuman mati pun dapat digantikan dengan membayar uang
bangon.
Untuk
kepentingan kegiatan militer, F.G. Steck mengamati, mengumpulkan data
dan menilai ciri, karakter, dan kehidupan masyarakat Lampung. Perlu
dicatat, waktu itu pengamatan —penilaian terhadap hasil pengamatan itu— cenderung dilakukan dari sudut pandang kebudayaan Belanda. Pendekatan relativisme kebudayaan tidak dikenal sama sekali. Sehingga penilaian orang-orang Eropa mengenai suku-suku bangsa di Nusantara terkadang tidak mengenakkan untuk dibaca.
Waktu itu,
menurut F.G. Steck lagi, sebagian besar daerah di Lampung belum
terjamahkan tangan manusia. Orang yang datang ke Lampung datang dengan
kapal layar dan berlabuh di pantai-pantai yang tak semuanya cocok untuk
tempat kapal besar membuang sauh. Akan tetapi, suatu perjalanan (apakah
untuk urusan militer, perdagangan, misi keagamaan, ataupun pelancongan)
tidak berhenti di daerah tepi-tepi pantai saja.
Perjalanan ke
pedalaman Lampung terutama dilakukan melalui pelayaran di sungai-sungai.
Namun, bagi orang yang tidak mengenal wilayah yang dihadapinya, banyak
pula kendala dan bahaya mengancam keselamatan perjalanan. Sungai-sungai
di Lampung bermuara di tiga tempat, yaitu Teluk Semaka, Teluk Lampung
dan Laut Jawa. Sungai-sungai yang bermuara di Teluk Semaka, bersumber dari mata air di di antara Bukit Barisan dan barisan perbukitan mulai dari Gunung Abung.
Sungai yang
bermuara di Teluk Lampung bersumber dari mata air di perbukitan sebelah
barat Rajabasa dan Lubuk Iti. Kemudian, sungai-sungai yang bermuara di
Laut Jawa bersumber dari mata air sebelah barat dan selatan Gunung Abung
dan sebelah timur Gunung Rajabasa.
Berlalu lintas melalui sungai tidak sederhana. Tidak
mengenal lingkungan alam setempat akan terjebak kesulitan. Beberapa
sungai biasa mendadak naik pasang, terutama yang berada di dekat sumber
mata air asalnya. Pada waktu itu, bahkan jalan-jalan setapak yang ada di
dekatnya pun akan terendam air.
Sungai-sungai
itu pecah dan beranak berkali-kali; tidak semuanya dapat dilayari.
Sungai-sungai kecil terutama digunakan penduduk setempat untuk mengairi
lahan pertaniannya. Beberapa sungai seperti Sungai Semaka memang dapat
dilayari bila nakhoda kapal disertai seorang pemandu sungai yang baik,
supaya tidak terus-menerus terhambat batang-batang pohon yang tumbang,
pulau-pulau terapung dan bebatuan di dasar sungai.
Di daerah
Mesuji, mata air sungai itu bersumber di Bukit Matawalu. Tak jauh dari
sumbernya, sungai mengalir ke arah timur dibatasi tepian yang curam. Di
daerah Umbul Mesuji, sungainyaberbelok
ke arah utara dan kemudian menyatu dengan Sungai
Batanghari. Pasang-surut sungai dengan mudah diamati dengan mata
telanjang. Sebab, perbedaan
permukaannya terkadang mencapai hampir setengah meter. Sungai ini sudah
dapat dilayari kapal-kapal besar mulai dari daerah Umbul Mesuji.
Semakin lama,
sungai menjadi semakin dalam dan lebar. Tepiannya curam menjadi datar.
Lingkungan di sekitarnya berubah penuh dengan hutan nipah dan kayu
api-api. Waktu musim hujan, daerah ini membanjir sampai jauh ke
pedalaman. Waktu
itu, daerah ini tak mungkin dijadikan tempat untuk mendarat walaupun
bukit-bukit pasir di muaranya dapat dilewati dengan mudah, kata F.G.
Steck.
Di dekat Umbul
Tunggal Jawa, Sungai Mesuji menyatu dengan Sungai Batanghari yang
bercabang lagi dengan Sungai Itam dan Sungai Komering. Sungai-sungai
inilah yang dilayari oleh perahu-perahu dari Mesuji menuju Palembang.
Pada pertengahan abad ke 19 Masehi, diperlukan waktu 5—8 hari untuk menjalaninya.
Sungai yang tak mungkin dilupakan di Lampung adalah Sungai Tulang Bawang, yang terbesar di seluruh daerah itu. Sungai ini terbentuk oleh menyatunya air dari empat buah sungai lebih kecil, yakni Sungai Umpu dan Sungai Besai yang menjadi Way Kanan serta Sungai Sungkai dan Sungai Rarem yang menjadi Way Kiri.
Di beberapa tempat di bagian dangkal, hanya perahu kecil dan rakit yang dapat lalu. Umumnya Sungai Tulang Bawang
dapat dilayari oleh perahu 2—4 koyang. Pada waktu musim hujan dan
ketika air sedang pasang, perahu dan kapal 10 koyang pun dengan tenang
dapat berlayar di atasnya. Apakah itu koyang? Istilah ini tidak ada lagi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan tak ada dalam kamus bahasa
Belanda. Koyang, satuan berat yang biasa diterapkan pada muatan perahu atau kapal. Satu koyang sama dengan 125 kilogram. Jadi, kapal 10 koyang mampu mengangkut 1.250 kilogram barang.
Bila demikian,
sungai yang dapat dilalui kapal 10 koyang harus cukup dalam supaya kapal
tidak terdampar di dasarnya. Menurut perkiraan F.G. Steck, sampai
Menggala, sungai itu bahkan cukup dalam untuk dilalui kapal uap milik Hindia Belanda. Kedalaman Sungai Tulang Bawang tidak serta merta aman dilalui kapal kecil maupun besar.
Sungai itu
melalui lingkungan alam yang indah di mata orang awam, tetapi berbahaya
bagi nakhoda dan pendayung. Aliran sungai itu tiba-tiba menderas
menghantam bebatuan besar dan kemudian mendadak jatuh berbuih-buih
sebagai air terjun. Penduduk yang tinggal di daerah perbukitan di sekitarnya membawa hasil ramuan hutan untuk dijual di Asahan dengan rakit-rakit yang terbuat dari bambu.
Bukan main,
F.G. Steck berdecak kagum melihat kepandaian nakhodanya mengemudikan
rakit-rakit bermuatan berat itu. Walau perairan yang dilalui berbahaya,
hampir tak pernah terjadi kecelakaan. Suatu hal yang menarik banyaknya mata air panas di Lampung. F.G. Steck menandai tempat-tempat dengan nama “Ilahan”. Karena di situ ada mata air panas dengan sungai yang bernama sama. Di Kalianda, ada sumber air panas seperti ini.
Di beberapa
tempat, seseorang tak mungkin merendam kaki telanjang di air panas, juga
tidak di atas bebatuan yang didalam sumber air panas itu. Sebutir telur
yang diletakkan di dalam air akan matang dimasak walau tidak sampai
menjadi keras. Penduduk di sekitar Kalianda mandi-mandi dan berendam di
sana untuk mengobati berbagai penyakit kulit.
Di antara Dusun Banjarmasin dan Belalau terdapat sumber garam alami. F.G. Steck mencatat hal ini baik-baik. Sebab, garam merupakan komoditas yang sangat mahal waktu itu. Sumber garam terkenal terdapat di dekat Sungai Umpu. Air sungainya terasa
asin payau di lidah. Bebatuan yang muncul di permukaan airnya tampak
berwarna keputihan oleh kristal-kristal garam yang melapisinya. Penduduk
daerah itu menggunakan garam untuk membumbui masakan mereka. Itu pun
dilakukan F.G. Steck dan rombongannya. Garam tidak hanya terasa asin,
tetapi juga baik untuk mengobati penyakit gondongan.
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G. Kolff. 1862.