Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu, Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Bagian Selatan, yang meliputi Palembang, Lampung, Jambi, Bengkulu dan Kepulauan Bangka Belitung.
Sumatera Selatan atau Pulau Sumatera bagian selatan yang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Selatan didirikan pada tanggal 12 September 1950 yang awalnya mencakup daerah Jambi, Bengkulu, Lampung, dan kepulauan Bangka Belitung dan
keempat wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi
wilayah provinsi tersendiri akan tetapi memiliki akar budaya bahasa
dari keluarga yang sama yakni bahasa Austronesia proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa dan logat antara lain seperti Palembang, Pegagan, Ogan, Komering, Musi, Lematang, bahasa Lampung; dialek "O" dan dialek "A", dan masih banyak bahasa lainnya.
Kendatipun
Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 tersebut secara
administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Bagian
Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah
menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan
tersendiri yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara yang
tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak
terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala Banten
di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil
menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa,
Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya meluaskan wilayah
kekuasaan Banten mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang
bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Sultan
Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota kesultanan
Banten.
Dengan kejayaan
Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC, oleh
karenanya VOC selalu berusaha untuk uasai kesultanan Banten. Usaha VOC
ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham
dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam perlawanan menghadapi
ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya
Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC.
Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan
dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari
perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan
sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya
antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan
rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada
VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29
Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di
Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa
surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi
Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak
mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara
VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena
ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja
kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi
banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten
dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu
timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada di bawah
Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten
atas Lampung tidak mutlak. Penempatan
wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau
kadang-kadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan
perdagangan hasil bumi (lada). Sedangkan
penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap
desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak berada
dibawah koordinasi penguasaan Jenang/Gubernur.
Jadi,
penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja
dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi
terutama lada, dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah
dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya
pada masa Raffles berkuasa tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan
tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles
beranggapan Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles
meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda
untuk Lampung.
Dalam pada itu
sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena itu
Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh
Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun. Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun. Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda. Oleh
karena itu, tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap
Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng
Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada
saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka
Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825
Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba
Kusuma.
Setelah Perang
Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di
daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng
Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya. Baru pada tahun
1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan
dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil
dikuasai.
Radin Imba
Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini
menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian
di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu
rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus" dari
Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin
perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap
merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang
terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi
kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Telukbetung dan sekitarnya.
Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri
yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya
Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda
yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu
Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan
mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan
kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil
perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari
Telukbetung menuju Palembang.
Hingga
menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode
perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut
terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan
penjajah yang silih berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai mana
dikemukakan pada awal uraian ini tahun 1964 Keresidenan Lampung
ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
Kejayaan
Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya
sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan
menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu
bagian lambang daerah ini.