Kebijakan pemerintah Hindia Belanda dengan mengkolonisasikan warga asal Pulau Jawa ke wilayah Lampung tahun 1905 hingga 1909, awalnya dipekerjakan sebagai buruh perkebunan karet. Para kolonis ini, langsung ditempatkan di Kolonisasi Gedong Tataan atau rombongan kolonis pertama. Di penempatan, para kolonis bekerja dilahan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Kala itu, karet komoditas yang laku dipasaran dan harganya pun dapat bersaing di pasar dunia. Dengan didatangkannya kolonis sebagai buruh perkebunan karet di daerah ini, pemerintah Hindia Belanda akan bisa mengambil keuntungan dari program kolonisasi tersebut. Kelompok kolonisasi yang didatangkan pertama kalinya itu penduduk berasal dari Pulau Jawa, yang beberapa diantaranya dikategorikan Hindia Belanda sebagai aktivis pergerakan yang dianggap cukup membahayakan bagi pemerintahan. Sehingga mereka perlu dikolonisasikan.
Sesudah dilakukan pendataan, kolonis gelombang pertama bertolak ke Lampung. Sebagai calon buruh perkebunan, pemerintah Belanda tidak melengkapi penduduk Jawa yang dipindah ke daerah ini dengan peralatan atau perbekalan layaknya transmigran di era Orde Baru. Mereka yang dipindah ke daerah Lampung hanya berbekal adanya kebulatan tekad dan kemampuan bertahan di tempat yang baru. Mereka harus bisa mempertahankan hidup dengan bekal yang dibawa dari Jawa. Di Lampung, mereka membuka lahan dan membangun rumah dan pertanian sendiri.
Meski demikian, penduduk kolonis mampu membangun perkebunan dengan kondisi permukiman yang utuh di area Gedong Tataan. Dalam perkembangannya, kolonis minta kepada pemerintah Belanda untuk tidak menjadikan mereka sebagai buruh perkebunan. Melihat sumber air yang melimpah, mereka minta izin untuk membangun irigasi dan membangun sawah.
Keuletan dan ketekunan dari warga pendatang dari Pulau Jawa ini ternyata mampu merubah tempat yang tadinya masih berupa lahan tanah yang belum produktif menjadi lahan yang bermanfaat, baik sebagai permukiman maupun perkebunan dan pertanian. Situasi mantap itu menjadi acuan serta mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan wilayah perkebunan Bergen tahun 1928. Pemerintah Hindia Belanda kembali mengumpulkan masyarakat dari Jawa untuk didatangkan ke Lampung sebagai buruh perkebunan. Kali ini, warga yang diberangkatkan berkolonisasi bukan masyarakat yang aktif di suatu pergerakan.
Setelah wilayah lokasi resetlement penduduk dari sekitar area Gedong Tataan, Gading Rejo hingga Pringsewu, dengan pengalaman perkembangan daerah yang berlangsung selama 30 tahun di daerah-daerah disebutkan terakhir, rezim pemerintahan waktu itu berupaya membuka lokasi resetlement baru lagi di daerah sebelah timur dan berdataran rendah. Hal tersebut sudah mereka proyeksikan sebagai pengembangan daerah kolonisasi berikutnya.
Berbeda dengan kolonisasi sebelumnya, persoalan irigasi tidak menjadi perhatian pokok. Namun untuk lokasi baru tersebut, irigasi menjadi bagian penting dari infrastruktur di wilayah baru. Kemudian dibangun bendungan Argo Guruh dan sekaligus saluran irigasi primer pertama, yakni ke lokasi yang kemudian dikenal daerah nama Trimurjo. Rombongan awal peserta resetlement ke Trimoerdjo (ejaan lama), adalah mereka yang telah disiapkan dari lokasi transito di Gedong Tataan. Kemudian berangkatlah rombongan itu ke lokasi yang dituju.
Setelah resetlement penduduk di daerah Trimurjo dianggap optimal, untuk menindaklanjuti perpindahan penduduk dari Pulau Jawa, dibagian utaranya telah pula dikembangkan lokasi transito baru, dengan sistem pelatihan dan karantina dalam bedeng-bedeng asrama yang agak berbeda. Alokasi waktu karantina dan pelatihan menjadi agak lebih lama. Ditambah, suasana politik dari rezim pemerintahan kolonialis Hindia Belanda, menumbuhkan suasana psikologi sosial di tiap-tiap kelompok rombongan ada perasaan pembuangan. Kontrol dan disiplin yang ketat menambah rasa penderitaan. Sehingga apa yang mereka alami pelan-pelan menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan.
Ciri solidaritas warga itu ternyata telah menumbuhkan semangat kekerabatan serta menyemaikan pentingnya kerjasama yang erat. Akhirnya, memunculkan istilah atau jargon, yakni semangat bermitra. Dalam istilah bahasa etnik dari mayoritas penduduk yang di resetlement adalah ber-Mitro. Sentral lokasi transito juga disebut daerah Mitro.
Dengan demikian, falsafah Mitro adalah falsafah penting dari komunitas-komunitas kolonisasi yang mengakselerasikan diri terhadap perkembangan wilayah di daerah Metro dan sekitarnya. Setelah lokasi Metro sebagai sentral transito, maka berkembang lokasi penempatan kolonis hingga ke wilayah Pekalongan sekarang, bersamaan dengan dibangunnya saluran irigasi lanjutan. Dari tahun 1935–1942, peran Metro sebagai lokasi transito bagi resetlement penduduk di sekitarnya cukup banyak artinya.
Dalam penempatan para kolonis ke daerah ini, pemerintah kolonial Belanda mempersiapkan penataan daerah kolonisasi dengan baik. Daerah permukiman warga diatur sedemikian rupa, baik lokasi maupun tempatnya. Demikian pula daerah pertanian, tempat perdagangan, jaringan jalan raya, tempat-tempat untuk membangun berbagai fasilitas sosial, jaringan saluran irigasi, perkantoran, lapangan, taman bahkan jalur untuk pembuangan air hujan.
Dengan alasan yang krusial mendatangkan mereka sebagai buruh perkebunan, kepala-kepala marga di Lampung mengizinkan penduduk Jawa gelombang berikutnya untuk menempati tanah-tanah adat milik masyarakat asli Lampung yang diminta Belanda. Mereka ditempatkan di lokasi kolonisasi yang dikenal sebagai Kolonisasi Sukadana, yang sekarang Sukadana disebut sebagai ibukota Kabupaten Lampung Timur. Daerah penempatan diatur seorang mantri kolonisasi.
Kedatangan warga yang berasal dari Jawa itu beberapa diantaranya membuat penduduk asli Lampung banyak bermukim ke arah sungai. Dalam kelompok-kelompok marga, masyarakat asli Lampung bermukim di sepanjang sungai yang melintas di wilayah Lampung, diantaranya di Jabung dan Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Sistem hidup dengan cara berkelompok juga dilakukan penduduk Lampung baru. Mereka tinggal berkelompok di lokasi Kolonisasi Sukadana. Hanya saja, saking luasnya lokasi tersebut, kelompok-kelompok itu tersebar di sejumlah tempat di daerah kolonisasi ini.
Setelah penempatan kolonisasi ke wilayah Kewedanaan Gedong Tataan, Pringsewu dan Sukadana, transfer penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung terus berlangsung dari tahun 1928 hingga 1930-an, termasuk penempatan para kolonis di area Trimurjo dan sekitarnya. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok kolonis tersebut terdiri dari desa-desa yang sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian.
Dari sekian banyak kolonisasi di Lampung, ternyata ada juga yang dianggap tidak berhasil membangun kelompoknya. Di Kolonisasi Sukadana misalnya, ada satu kelompok yang gagal, yaitu mereka yang ditempatkan dan tinggal di wilayah yang disebut Gedung Wani atau yang sekarang terletak di wilayah Way Jepara. Lokasi penempatan kolonis ini berada di daerah yang menghubungkan antara Jabung dengan Sukadana. Ketidakberhasilan kolonisasi di daerah ini, diantaranya disebabkan situasi dan kondisi kala itu.
Sesudah masa itu, kolonial Hindia Belanda masih melakukan penempatan kolonisasi di Lampung. Hal ini mengulang kesuksesan sebelumnya. Lokasi kolonisasi yang baru terletak di Lampung Tengah sekarang, yaitu mulai dari Bumi Jawa mengarah ke barat hingga di Tegineneng, wilayah Kabupaten Pesawaran sekarang. Lokasi itu diapit dua sungai besar, Way Rahman dan Way Sekampung. Dari sini, penamaan Kolonisasi Sukadana berubah menjadi Kolonisasi Gedung Dalam atau Gedung Dalem.
Kolonisasi Gedung Dalam cukup luas dan mencakup 70 kelompok. Kelompok tersebut percampuran penduduk asal Pulau Jawa yang didatangkan hingga tahun 1937 serta penduduk yang sudah datang pada Kolonisasi Sukadana. Kelompok-kelompok ini akhirnya berkembang menjadi desa-desa dan dusun-dusun. Setelah terbentuknya kabupaten, dalam perkembangannya berkembang lagi menjadi kecamatan.
Program perpindahan penduduk yang sebelumnya diprogramkan dan diselenggarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, ternyata juga dilakukan saat penjajahan Jepang. Semasa pemerintahan Jepang tahun 1942–1945, program kolonisasi ini masih tetap dipertahankan. Tapi, namanya diganti dengan nama baru, yaitu Amin Kakari. Penduduk setempat tetap mengusahakan lahan-lahan pertanian masing-masing. Bahkan, menjadi salah satu sumber logistik tentara Jepang di Lampung saat mereka menjajah tanah air.
Memang sejak tahun 1942, susunan pemerintahan di Lampung mengalami perubahan dengan perginya pejabat-pejabat kolonial Belanda dari Binnenlands Bestuur. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia , kegiatan transmigrasi tetap dilaksanakan. Namun karena mereka sibuk dengan peperangan, rupanya penguasa Jepang tidak sempat melakukan pengadministrasian berbagai kegiatan transmigrasi seperti halnya zaman pemerintah kolonial Belanda. Sehingga sangat sedikit dokumentasi mengenai transmigrasi yang bisa ditemukan.
Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi mencapai puluhan ribu orang. Tidak hanya dibidang transmigrasi, kondisi kependudukan yang parah dimulai saat tentara Jepang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Belanda. Pada periode ini, kondisi perekonomian diIndonesia sangat buruk. Beberapa komoditi seperti tekstil, alat-alat pertanian hingga bahan pangan menghilang dari pasaran. Terjadi pula mobilisasi tenaga kerja untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang, baik didalam maupun diluar negeri. Hal itu malah menambah parah keadaan.
Kolonisasi ke daerah Lampung semasa pemerintahan Jepang hanya berlangsung satu kali tahun 1943. Berbeda dengan kolonisasi Hindia Belanda, kolonisasi yang dilakukan pemerintah Jepang justru dengan hanya memindahkan romusha (pekerja paksa). Jumlah romusha yang dipindahkan ke Lampung sebanyak 6.329 kepala keluarga (KK) atau 31.700 jiwa.